Wednesday, August 10, 2005

Membunuh cita-cita

Ketika aku melihat sekelompok anak kecil bermain, aku iseng mengajak bicara mereka.

"Dek..besok kalau udah gede cita-citanya ingin jadi apa nih?"tanyaku.

"Jadi dokter!" jawab si kecil nani

"Kalau aku sih ingin jadi presiden seperti bapak SBY, bisa keliling ke luar negeri!" si ichan berlonjak-lonjak membayangkan pergi ke luar negeri.

"Enaknya jadi polisi...aku mau menangkap penjahat, pencuri. Bisa memegang pistol seperti di film-film." si didit, yang kecil item bergaya memegang pistol airnya.

"Kata Ibu aku, paling enak jadi tukang komputer. Memperbaiki komputer, pintar komputer. Lebih enak lagi menggambar dengan komputer...pasti duitnya banyak!" si Dika terlihat sok tahu menyimpulkan perkara duit. Aku tersenyum saja.

Aku menahan tawa mendengar jawaban-jawaban polos mereka. Aku sendiri bingung darimana mereka menemukan jawaban itu. Apakah itu sudah ditanamkan orangtuanya, ataukah itu tercipta dari penalaran mereka terhadap sekitar?
Hebatnya mereka selalu menemukan jawaban, jika ditanya..mengapa?
Walaupun terkadang jawaban anak2 seusia TK dan SD tidak sesuai harapanku, tapi jawaban lugu dan polos mereka selalu menjadi sesuai.

Pembicaraan cita-cita kembali aku bahas :)
Aku bingung dengan deskripsi cita-cita dan mimpi.
Mimpi dan cita-cita seolah-olah menjadi satu kesatuan yang tak terpisah.
Aku pernah berkata bahwa aku tidak akan pernah berhenti bermimpi..apakah artinya juga sama bahwa aku tidak akan pernah berhenti menggapai cita-cita?

Om ku kemarin bingung. Pusing karena memikirkan anaknya yang hendak masuk kuliah.
Ponakanku sebut aja namanya Andre, sangat mengharapkan bisa kuliah di jurusan design product di ITS.
Menjadi design product adalah cita-citanya. Karena ia merasa hobby, bakat gambar dan jiwa mendesign telah berbaur dengan tubuhnya.
Tetapi Om aku dan Andre, harus dihadapkan pada kenyataan membayar biaya masuk di ITS sebesar 32 juta. Tidak bisa dinego or ditawar.
Hari itu juga, jika mereka hendak regitrasi, mereka harus membayar 50%.
Seketika itu juga, Om aku bingung kesana kemari mengusahakan mencari benda yang disebut uang.

Cita-cita yang disebutkan oleh para anak2 tadi ternyata mahal nilainya.
Sekarang biaya pendidikan sudah melambung. Bagaimana dengan anak2 kita di sepuluh atau lima belas tahun mendatang?
Mau jadi polisi harus ada 80 juta, mau kuliah design product harus sedia 32 juta. Ingin jadi angkatan laut sogok dulu 18 juta, ingin jadi dokter ... keluar kocek dulu 100 juta.

Haruskah kita membunuh cita2 anak cucu kita kelak, demi mempertahankan hidup untuk mencari sesuap nasi?

yang lagi prihatin dengan mahalnya pendidikan :)