Saturday, September 17, 2005

Mental Pengemis

Udah cukup lama tidak update blog, cukup lama berkutat pada rasa sakit demam, pusing, mual yang diprediksi tipes yang memang selalu menggerogoti aku ketika rasa lelah mendera.

Minggu lalu, ketika aku berhenti di Wonokromo tepatnya dekat lokasi Kebun Binatang, aku sangat haus dan ingin membeli es. Mataku tertarik melihat sosok dua pengemis wanita yang usianya sekitar kepala 3 dan kepala 4. Sangat muda, pikirku. Mereka juga sangat sehat jasmani. Salah satu di antar mereka menggendong seorang anak kecil. Aku melihat mereka mengemasi alat-alat kerja mereka untuk mengemis, mereka lewat di hadapanku. Setelah mereka hilang dari pandanganku, tiba-tiba si penjual es berceletuk :

"Mbak, pengemis itu punya sepeda motor Supra Fit. Baru lagi mbak. Saya aja yang dibela-belain kerja jual es siang malam, uang gak mencukupi buat beli kebutuhan sehari-hari ... apalagi sampai honda mbak."

"Lhoo bapak kok tahu darimana?"

"Kalau orang yang sudah terbiasa di daerah wonokromo sini, pasti udah kenal dan tahu siapa2 aja yang kerja, jualan ataupun pengunjung. Bentar lagi mereka pasti lewat. Mbak tunggu aja."

Dan benar, aku melihat mereka berdua naik motor Supra Fit baru. Pakaiannya tetap, hanya ditutupi jaket rapat. Yaaaa dua orang wanita dan satu anak kecil di tengah. Wajahnya sama, dan postur tubuh sama. Memang benar, si penjual es gak berbohong.

"Tuh mbak, benar kan? Mereka kerja di perempatan mulai dari jam 9 pagi sampai jam 1 siang. Mbak kerja jam berapa?"

"Aku ini pak kerja dari jam 8 sampai jam 5 sore aja belum bisa beli supra fit cash kalau masih dua tahun kerja." jawabku geli.

"Nah enak kan mbak kerjanya mereka, kerja bentar udah dapat supra fit. Jam 2 siang udah bisa bobok siang, bisa masak, dan nonton telenovela."

Dan kemarin, hari Jumat ... aku pulang kerja naik motor sendirian. Tiba-tiba di perempatan lalu lintas Pucang, aku melihat seorang laki-laki muda, tetapi lusuh .. cacat, kakinya hilang satu. Dengan sekuat tenaga ia mengayunkan tongkat penyangganya menuju dari mobil satu ke mobil yang lain menawarkan koran. Aku trenyuh banget ... aku salut banget. Ingin sekali aku teriaki dia, beli koran ke dia, tetapi lampu hijau keburu menyala.

Aku bangga pada laki-laki yang aku temui di Pucang. Di tengah kekurangan dan kecacatan fisiknya ia berjiwa tegar menghadapi hidup. Ia tahu, bagaimana mencari uang dengan cara yang dapat ia bisa. Mentalnya bukan mental pengemis. Mental seperti ini yang aku suka pada setiap karakter manusia.

Sering tak sadar di antara kita mempunyai mental pengemis. Kita lebih suka menerima sesuatu daripada memberi.

Kalian lebih suka mana? Menengadahkan tangan dengan telapak terbuka atau menjulurkan tangan dengan telapak terkatup?

Met weekend ya!