Thursday, March 06, 2008

Lihat sekitar kita

Saya dulu pernah ikutan lomba akustik. Dengan personel 7 cowok yang berperan mengiringi dan 2 cewek sebagai vocalis, salah satunya adalah saya. Dan lagu pilihan saya waktu itu judulnya 'Lihat sekitar kita' Liriknya saya sangat suka, rasanya yang nyanyi dulu Trie Utami. Saya ambil refrennya begini :

Reff :
Bayangkanlah kita semua, berjalan bersama.
Menuju hidup damai sejahtera.
Sempatkanlah untuk melihat, di sekitar kita.
Ada kesenjangan antara manusia, lihat sekitar kita.

Saya merasa lagu ini benar-benar mengangkat kehidupan sosial dalam masyarakat. Sayang banget ya, sekarang gak ada lagu-lagu Indonesia yang bertemakan seperti itu lagi.

Kenapa sih tiba-tiba saya memberi judul postingan saya lihat sekitar kita? Jaman sekarang ini memang jarang banget orang mau lihat sekitarnya, jarang banget orang mau peduli sama sekitarnya. Saya tidak menyalahkan situasi ini, saya tidak menyalahkan mereka yang tidak mau melihat sekitar, tetapi yang perlu disalahkan adalah kondisi perekonomian saat ini yang makin terpuruk.

Contoh saja, saudara saya yang dua tahun lalu kecelakaan hingga koma selama 2 minggu. Waktu kecelakaan dia bersama dengan seorang temannya, yang kondisinya tidak terlalu parah. Si temannya ini mencoba menghadang taxi, mobil, sepeda motor pokoknya semua kendaraan yang beralalu lalang jalan raya tempat mereka kecelakaan akibat tas nya ditarik oleh pencopet. Namun tak satupun kendaraan yang bersedia berhenti atau membantu. Untunglah ada salah satu teman SMPnya yang mau berhenti dan menolong mereka.
Lain lagi dengan cerita sopir taxi, dia bercerita saat itu ia mendapat telepon untuk segera datang ke rumah A. Ternyata sampai di sana hanya ada seorang anak kecil, ibunya terkena stroke. Karena ia tidak kuat membopong ibunya, ia berinisiatif memanggil taxi. Sopir taxi ini membopong dengan kewalahan, padahal tetangga kanan kirinya penuh dan sedang duduk2 di depan warung. Sampai2 si sopir taxi ini berteriak "Mas tolong dong bantu angkat ibu ini kena stroke." Yang diteriakin ini bukannya segera membantu, tetapi malah saling menunjuk.

Lalu bergulirlah cerita di Mataram seorang ibu hamil dan anaknya mati kelaparan. Besoknya lagi ada berita seorang anak sekolah bunuh diri karena tak tahan lapar, ia makan hanya satu kali dalam sehari.
Miris banget.

Mengapa semua menjadi tak peduli?
Untuk yang kejadian kecelakaan, mereka tak peduli, karena mereka takut. Takut dijadikan saksi di kepolisian. Takut dijadikan tersangka. Macam-macam. Berbagai orang kuceritakan hal itu katanya, yach jaman sekarang saksi bisa jadi tersangka, orang gak bersalah bisa jadi bersalah...ya kita takut dong. Ironis memang.
Untuk kejadian kelaparan. Kata mereka-mereka. Kita ingin peduli. Tapi kita sendiri juga bingung dengan urusan perut. Benar juga.

Semua menjadi tak peduli, karena mereka semua juga bingung dengan diri mereka sendiri. Orang miskin biasanya tinggal di lingkungan miskin juga. Orang kaya biasanya tinggal di kawasan elite, dimana mereka tak pernah melihat kumpulan orang miskin yang benar-benar membutuhkan makan. Kesimpulannya orang miskin yang tak bisa makan disuruh peduli dengan orang miskin yang lebih tak bisa makan. Sedangkan orang kaya yang gajinya berjuta-juta, yang sudah dapat falitas ini dan itu dengan girangnya beli mobil mewah, beli berlian tanpa bingung dengan uang. Itulah kesenjangan. Dan itulah fakta yang terjadi saat ini di Indonesia.
Harga kian mencekik. Untuk makan saja, kita wajib menyediakan uang belanja minim 20 ribu. Belum minyak gorengnya, belum gasnya, belum bayar listrik, dll. Uang satu juta bagi kita yang kerja kantoran itu seperti tak berarti. Uang satu juta buat bayar listrik, telepon, air, beli susu anak, belanja bulanan..dapat dipastikan langsung ludes. Bagaimana dengan mereka yang gajinya hanya 600 ribu sebulan dan menanggung 1 orang istri yang tak bekerja dan 2 orang anak.

Anda semua yang berkunjung di sini yang tak mempunyai desa, pastilah tak tahu kehidupan orang2 miskin. Desa saya Ponorogo. Di desa saya sana banyak orang2 miskin, gubug2 reog. Kalau anda pernah lihat bedah rumah, hemm rumah2 orang yang di televisi itu sih masih bagus. Kalau di desa saya, banyak kok rumah2 reot jelek yang hanya satu petak. Saya masih ingat membeli nasih pecel di desa 500 rupiah sudah dapat nasi berikut sayur bumbu pecel dan tempe yang gurih. Terakhir saya kesana, mungkin karena saya orang kota saya diberi harga 1.500. Eh nenek saya marah-marah tahu saya beli nasi pecel 1.500 katanya mahal. Di surabaya mana ada nasih pecel 1.500? Paling murah ya 5 ribu.
Makanya mereka yang di desa berlomba-lomba mencari rejeki di negeri orang. Hasil pertanian mereka tak bisa menjamin kehidupan mereka menjadi lebih baik.

Apakah setiap bulannya, setiap tahunnya semua sembako dan semua berkaitan dengan bbm akan naik? Kalau ya...aduh benar2 akan mencekik leher masyarakat. Ini seperti membunuh rakyat secara pelan2.