Thursday, February 08, 2007

Saya diuji, lagi!

Saya diuji lagi.
Kesabaran yang lebih pada batasnya. Kalau ujian bulan2 lalu saya diuji sebagai seorang anak yang bakti pada ortu, istri yang memahami suami, mama yang faham akan anaknya dan juga menantu yang mengerti mertuanya. Ujian bulan2 ini masih merupakan rangkaian dari bulan2 lalu...tapi saat ini batin saya diharapkan untuk lebih siap mental menjadi seorang mama.



Anak saya sakit. Rabu (31 Jan), saya ditelpon suami katanya Edgar diare dan demam. Suami minta saya untuk segera pulang. Saya lekas mematikan komputer saya, menerjang mendung yang sudah gelap, berharap hujan tak mengguyur ketika saya berjuang untuk lekas sampai di rumah dengan mengendari roda dua.
Setelah sampai di sana, bapak mertua bilang demam anak saya sudah reda. Rabu malam Edgar sudah baikan. Kamis saya memutuskan tidak masuk kerja, demi anak semata wayang yang saya nanti 3 tahun dalam usia pernikahan kami. Berbekal tempra sebagai obat panas dan Lacto B untuk mengatasi diare-nya. Edgar sudah beraktifitas seperti biasanya.
Menjelang jam 23.00 WIB, kamis malam..Edgar menangis tak henti, saya bingung, kalut, gak tahan lihat tangisnya. Gak biasanya anak saya cengeng..saya masih ingat ketika anak saya demam tinggi karena suntikan DPT, dia diam hanya senyum merasakan demamnya itu..tapi kali ini dia menangis kenceng banget..
Edgar mintanya digendong. Kami gantian, saya..suami..bapak..ibu..kami bingung.

Jumat pagi saya bawa Edgar ke UGD AdiHusada Undaan. Dokter UGD menyatakan anak saya mengalami dehidrasi alias kekurangan cairan. Saya yang tak tega melihat Edgar kesakitan, berpasrah saja ketika dokter UGD meminta anak saya diopname.
Tapi AdiHusada Undaan, ternyata kamar untuk merawat inap anak penuh. Suster telp ke Budi Mulya juga penuh, HCOS penuh, RKZ penuh juga...saya pun terima saja ketika dirujuk ke Adihusada Kapasari.

Edgar ditusuk jarum berkali-kali ketika hendak diambil darahnya. Hemm...saya hendak protes pada suster yang mengambil darahnya, anak sudah nangis gitu kok ya gak bisa2 nusuknya dan menemukan letak yang tepat. Saya menangis. Akhirnya si suster ini, memanggil temannya..dan alhasil temannya satu kali tusuk aja udah jadi keambil darahnya. Edgar diinfus. Sehari semalam di RS Edgar menangis terus...tiap kali menangis gak lama kemudian dia pup...dan herannya pupnya tuh cair banget, padahal waktu di rumah sering pup tapi kental.
Edgar disuruh puasa...lalu dokter menyarankan diberi air teh...saya turuti saja. Tetapi nyatanya tiap kali edgar minum teh, perutnya kembung, dan dia malah diare tiap dua jam. Huh..saya panik..dirawat kok bukannya membaik.
Saya menyuruh suami beli gula, lalu saya bikinkan air gula,..dia doyan, sekali minum bisa habis dua botol. Ternyata manjur, gak pernah pup lagi..sekali pup udah gak cair. Muntah juga gak...demam juga gak. Itu adalah hari minggu.

Karena merasa kondisinya membaik, saya hendak kerja mengingat saya meninggalkan tanggungjawab besar di kantor. Ada laporan tahunan yang wajib dibereskan menjelang pergantian pimpinan di Ubaya. Jadi suami kerja, saya juga kerja dan di sana hanya ada pengasuhnya. Sampai kantor ternyata boss saya baik banget, dia cuma minta diforward dokumen2 penting yang digunakan buat laporan tersebut..beliau sendiri nantinya yang mengerjakan.
Perasaan saya memang sempat gak enak, jam 11.00 suami saya telp panik banget...katanya Edgar di oksigen. God! Dada saya sempat sesak dengar berita itu.
Saya pun akhirnya jam 12.00 berpamitan. Rasanya saya gak akan bisa konsen kerja dengan kondisi anak saya seperti itu.

Suami saya marah besar...sayapun ingin teriak dan cubit para susternya. Harusnya jarum infus itu tiap tiga hari diganti semua dan dipindah posisinya jika itu digunakan untuk bayi. Tetapi mereka teledor. Edgar terhitung sudah 4 hari. Begitu Edgar disuntik injeksi pada infusnya, dia menggigil dan demam tinggi. Jadi ada kemungkinan Edgar infeksi karena infus. Emaknya (pengasuhnya) bingung harus berbuat apa, untunglah tetangga sebelah (yang anaknya juga muntaber) segera bertindak pencet bel untuk manggil susternya. Dan akhirnya anak saya di oksigen.
Saya ingin berontak...ingin teriak..ini bayi lhoo iya kalau orang gede bisa ngerasain dan bilang sakit dimananya. Edgar bisanya nangis aja.
Sampai di sana, hati saya trenyuh banget, melihat edgar sudah diberi infus, diberi oksigen. Namanya Edgar mana bisa diam sih? Saya akhirnya membungkus badannya dengan selendang supaya tangannya tak bergerak bebas. Kasihan sih sebenarnya. Habis tangannya mencabut oksigen yang menempel dengan sukses di hidungnya, saya tahu pasti dia gak enak...risih. Saya makin trenyuh ketika Edgar bermain di tempat ridur RS itu dengan berbagai selang yang melilitnya. Tapi dasar Edgar, mana pernah dia merasakan sakitnya...walau selang banyak melilit tubuhnya dia masih asik dengan mainannya, dia masih aktif teriak2. Saya sempat GR dan bangga sendiri..ketika tetangga sebelah yang anaknya usia 8 bulan hampir 9 bulan..heran dengan Edgar yang udah merangkak..sering tiba2 berdiri sendiri. Katanya "Fahri belum bisa begitu.." memang anaknya cuma bisa tengkurap saja. Saya sempat besar kepala ketika beberapa teman, yang ternyata anaknya juga di rawat di sana bilang "Ya ampun mbak...kalau jaga Edgar sendiri yo pasti kewalahan lha gesitnya seperti ini." Soalnya mereka berdua yang bantu ngejagain Edgar dan menyuruh saya makan siang dulu...mereka tahu sendiri betapa saya kewalahan ketika menggantikan pamper lalu dengan tiba2 Edgar ngompol dengan sukses membasahi baju dan celananya. Kita bertiga yang menggantikan pakaian Edgar...dan kita bertiga saja masih ngos-ngosan mengatasi ulah Edgar..karena kita bingung dengan selang2nya.

Hari Selasa saya bolos. Oksigen dilepas. Saya menanyakan dokter tentang tes kotoran, urine dan darah. Kata dokter HB nya Edgar rendah..harusnya bayi normalnya 15 tetapi Edgar 10. Saya tanya jalan keluarnya apa..dokternya bilang wajib transfusi darah..dokter menyarankan saya agar lekas ambil tindakan. Saya bilang...menunggu suami.
Akh gila benar...anak sebayi ini mau ditransfusi. Gak..gak..saya gak tega dan gak mau. Edgar udah baik2 saja. Buktinya dia main dengan gesitnya, makan 1 piring bubur dari RS juga habis tanpa muntah dan diare. Temperaturnya selalu 36.
Saya lekas menelepon bapak, suami dan kakak ipar yang bekerja sebagai perawat. Dari hasil telepon itu kita sepakat untuk pulang paksa saja. Bapak mertua juga takut, kalau nanti jika ditransfusi justru malah punya penyakit aneh2. Gimana gak? Saya merinding sendiri tiap baca koran dimana PMI pernah menemukan beberapa kantong darah yang mengandung HIV. Ihhh ngeri...saya gak bisa bayangin kalau Edgar ditransfusi. Susternya sempat nanya kenapa saya gak mau transfusi, saya jelaskan..sempat debab juga sama susternya. Saya disuruh tanda tangan kalau saya gak mau transfusi. Suami saya kesana...menjelaskan kebohongan..bahwa kita sudah gak punya duit. Alasan klasik dan alasanya yang memang gak bisa dipaksakan untuk tetap terus di situ. Suami saya nanya kemungkinan terjelek kalau Edgar gak transfusi apa? Susternya bilang anaknya akan demam terus. Suami saya jawab..buktinya dua hari ini gak demam kan sus. Susternya cuma mengiyakan.
Jelas dong..anak saya HB nya rendah. Ketika tes darah pertama HB nya 12..kondisi Edgar lemas..karena kehilangan cairan. Ketika tes darah kedua..HBnya justru 10 ..lha ngambilnya waktu Edgar mengigil, demam tinggi karena infusnya tak diganti.Kenapa mengambil darahnya waktu kondisi drop? Otomatis Edgar HBnya rendah.
Akhirnya Rabu walau dokter belum mengijinkan pulang, saya nekad membawa Edgar pulang. Biarlah saya cari RS yang lebih rasional saja. Biarlah saya cari dokter anak yang lebih rasional dalam mengobati anak, hati2 dalam penanganannya.

Saya membisikkan ke Edgar.."Nak..jangan pernah sakit lagi ya. Cukup saat ini saja. Kalau sakit, biar mama yang merasakannya saja." air mata saya tumpah melihat tangan dan kakinya banyak bekas tusukan jarum suntik.

Ini memang curhat saya special cerita Edgar. Ini penyesalan saya yang tidak menyediakan pedialyte (cairan oralit untuk bayi, sebagai pengganti cairan yang hilang). Sebenarnya penanganan saya di rumah sudah betul..memakain tempra untuk penurun panas, dan lacto B (toh lacto b juga digunakan di RS)...hanya saja saya tidak memberikan oralit (pedialyte untuk baby) pada Edgar. Seandainya saya berikan, tentu Edgar tidak mengalami dehidrasi, yang mengakibatkan infeksi usus..karena apa yang dikeluarkan tidak imbang dengan apa yang masuk.

Sekedar sharing untuk teman2..bagi yang punya anak, ponakan..usahakan sedia obat dalam kotak P3K..mulai dari obat panas, batuk pilek..terutama diare dan muntah.

Satu yang saya sesalkan, ketika Senin saya masuk kerja, Nana (Syafrina Siregar, penulis Life begin at Fatty) mengirimkan sebuah pesan untuk saya. Nana ingin bertemu dengan saya pada hari Sabtu dan Minggu. Terlambat! Ya, mau apalagi saya tidak masuk sejak Kamis. Saya sms minta maaf pada Nana, bukannya saya tidak mau bertemu. Tetapi ini karena sungguh rencana di luar dugaan. Hari ini saya telepon Nana, ternyata dia gak jadi pulang Kamis, Nana jadi balik hari Jumat. Semoga nanti malam saya dapat bertemu dengan penulis yang sangat produktif ini...dan semoga Edgar bisa saya ajak.